Friday 14 January 2011

Turbulensi Mandala

Trisia, kau yakin Mandala tak jatuh lagi?” tanya seorang wartawan di Medan, Sumatera Utara. Trisia Megawati, mantan Head of Corporate Communication Mandala, merasa tertohok. Dia terdiam, sebelum menguasai diri dan menjelaskan kebangkitan Mandala Air.Boeing 737-200 Mandala RI-091, yang jatuh di Padang Bulan, Medan, 5 Oktober 2005, menewaskan 143 orang, adalah titik nadir Mandala. Masa itu, sulit membujuk warga Indonesia, apalagi orang Medan, kembali terbang dengan Mandala.
Juli 2009, bisa disebut puncak kegemilangan Mandala setelah bersama Garuda Indonesia dinyatakan lolos larangan terbang ke Eropa. Mandala lantas mengangkuti pegawai Sampoerna, Total, Schlumberger, PAMA, hingga Kadin. Orang mulai melihat Mandala sebagai pesaing Garuda.
Namun, Rabu (12/1/2011), secara mengejutkan, Presiden Direktur Mandala Airlines Diono Nurjadin mengumumkan penghentian sementara operasional maskapai itu. ”Semoga sebelum 45 hari dapat beroperasi lagi,” ujarnya. Padahal, Diono pada Juni 2007 di Perancis dengan optimistis menandatangani kontrak pembelian 25 unit Airbus A320 senilai 1,9 miliar dollar AS.
Turbulensi Mandala memang mengejutkan. Kondisi Mandala sangat bertolak belakang dengan ”semangat” yang terjadi maskapai lain, sebut saja Garuda Indonesia, pada saat bersamaan melakukan penawaran saham perdana. Adapun Indonesia AirAsia, pada Februari 2011 akan menjemput pesawat barunya, Airbus A320, ke Toulouse, Perancis.
Sementara Mandala, restrukturisasi telah membuat maskapai ini tak terbang. Penundaan kewajiban pembayaran utang segera dimohonkan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Mandala berharap ada dana segar dari investor baru.
Ada apa dengan Mandala? Ternyata, Mandala tak lagi ”menguasai” pesawat. Maskapai ini pernah memiliki 11 pesawat, tetapi kemudian enam pesawat ditarik pemilik sewa guna usaha (lessor). Mulai Kamis (13/1/2011), lima pesawat juga ditarik pemilik sewa guna usaha.
Pesawat itu ditarik pemilik sewa guna usaha karena Mandala tak mampu memenuhi kewajiban pembayarannya. Ada informasi, hal ini karena harga sewa pesawat terlalu tinggi. Jika demikian, apakah tak ada proses tawar-menawar saat negosiasi sewa pesawat. Atau, ini dampak dari ketidakmampuan Mandala bersaing dengan maskapai lain, di zona penerbangan berbiaya murah (low cost carrier), baik di penerbangan domestik maupun regional. Hanya manajemen Mandala yang tahu, apa yang sebenarnya terjadi?
Turbulensi Mandala agak aneh karena di maskapai ini ada Indigo Partners USA, yang memegang 49 persen saham sejak April 2006. Indigo adalah perusahaan yang berpengalaman mengelola maskapai, berkongsi dengan Tiger Air (Singapura), Spirit (AS), Wizz (Hongaria) dan Abnanova (Rusia). Mandala pada masa Warwick Brady menjadi Chief Executive Officer pernah menjadi barometer keselamatan penerbangan Indonesia
Namun, bisa jadi pendapat bahwa ”jagoan di luar belum tentu di Indonesia”, itu benar. Pasar Indonesia memang ”ajaib”. Loyalitas kepada maskapai bergantung pada murahnya tiket bukan merek. Di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang haus pelayanan dan gengsi. Berapa pun harga tiket Garuda, tetap dipilih.
Oleh karena itu, bila ingin sukses dan terbang lebih tinggi harus serius menetapkan positioning-nya. Restrukturisasi operasional Mandala pernah berhasil, tetapi kini itu saja belum cukup. Mandala juga harus berhasil dalam restrukturisasi komersial.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Our Fanpage